Saturday 27 April 2024

Panggilan Tak Terjawab

Tidak dijawab. Lagi.

Ini sudah panggilan kedua. Berselang sepuluh menit dari panggilan pertama, yang juga tidak dijawab.

Kesabaran Dhesta yang setipis tisu dibelah tiga itu kini sudah habis.

Apa susahnya mengangkat telepon?

Cukup dua kali, tidak akan dia menelepon lagi.

Untuk apa kalau tidak pernah diangkat? Buang-buang waktu saja.

Jika bukan karena kehadiran bingkisan lebaran, dia tidak mau repot-repot menghubungi nomor ponsel yang tidak pernah ada dalam daftar kontaknya itu. Dhesta menghela napas, memejamkan mata. Perempuan itu benar-benar merepotkan.

Dasar batu. Dalam hati, Dhesta menggerutu. Selama perjalanan kisah kasihnya, demi apa pun, perempuan terbaru ini menguji kesabarannya. Sebenarnya, dia bisa pergi saat itu juga, tetapi kepalang sial karena tertarik sejak awal. Seolah-olah sudah lama, padahal belum seumur jagung mereka saling kenal.

Mungkin memang seharusnya dia pergi. Dhesta tidak akan menengok ke belakang lagi, tidak mau perasaannya makin dalam. Setelah ini, dia akan menghapus perempuan itu dari hidupnya. Tidak perlu menjelaskan apa pun, dia sudah bisa menyimpulkan: lebih baik menjauh daripada berjuang untuk kesia-siaan. Dia hanya akan fokus dengan masa depan.

                                                                                 

***

Jam di ponsel Bayu menunjukkan pukul sebelas malam ketika suara mobil terdengar. Rupanya Dhesta baru pulang. Karena akhir pekan, Bayu biasanya begadang main gim di ponsel dan berencana mengajak Dhesta main bersama. Namun, saat keluar kamar dan melihat Dhesta dengan kaki menyeret langkah, dia lebih heran.

“Kenapa, Bang? Kusut amat tuh muka, kayak keset,” sapanya mencoba mencari tahu karena sepertinya suasana hati Dhesta tidak baik.

Dhesta yang ditanya tidak menjawab, dia hanya melengos dan langsung masuk kamar, menutup pintu. Bayu dibuat melongo karenanya. Dia makin tidak mengerti mengapa kakaknya yang sekukuh gunung itu bisa lunglai juga.

“Bang,” panggil Dhesta sambil mengetuk pintu. “Gue boleh masuk?”

“Enggak.”

Singkat, padat, dan jelas-jelas Bayu makin ingin masuk. Dengan berani dia membuka pintu sedikit, melongokkan kepala. “Bang—”

“Gue lagi butuh sendiri.”

Aura mencekam itu meruak hebat, tetapi Bayu tidak gentar. “Ba—”

“Udah gue bilang gue mau sendiri.”

Buk! Bayu melihat Dhesta menyimpan tas kerjanya ke meja dengan tenaga seperti hendak membanting manusia. Tidak heran, kakaknya memang anggota karate saat di SMA.

“Keluar.”

Satu kata mematikan, tetapi sumpah mati Bayu tidak bisa menahan diri. Dia malah membuka pintu lebih lebar dan masuk ke kandang singa.

Dhesta mengacak-acak rambut frustrasi seraya berbalik menghadap Bayu. “Mau lo ap—”

“Apa? Mau gue apa? Gue mau tahu abang gue kenapa. Lo enggak biasanya kayak gini, Bang. Cerita, dong,” potong Bayu.

“Bukan urusan lo, anak kecil enggak perlu tahu.”

Bayu mendengus. “Lo bisa enggak, sih, enggak usah selalu bilang gue ‘bocah’ lah, ‘anak kecil’ lah, kayak lo udah paling dewasa aja sealam dunia.”

“Gue abang lo, belum lupa, kan?” Dhesta membalas retoris.

“Hah, orang dewasa juga kalau putus cinta sama aja kelakuannya kayak lo sekarang ini, Bang, maunya diem mulu ngurung diri, mendem sendiri, padahal bisa cerita,” gerutu Bayu.

“Diem lo.”

Ucapan Dhesta yang seketika itu membuat insting Bayu menguat. Apa jangan-jangan ...?

“Masalahnya apa lagi, Bang? Berantem? Silent treatment? Cut off?” tanya Bayu memberondong. Dari yang sudah-sudah, kisah cinta kakaknya itu berakhir dengan cara serupa. Si anak pertama dengan segala ego dan harga dirinya.

Dhesta hendak membuka mulut saat Bayu kembali mencerocos, “Bang, lo sadar enggak, sih, kalau akhir-akhir ini lo beda? Gue lihat lo lebih ceria, lebih sering senyum, bercanda, makan malem bareng Mama-Papa. Lo lebih ... hidup.”

Bayu menarik napas, menantikan respons Dhesta, yang kali ini justru terdiam.

“Diem-diem gini gue merhatiin lo, Bang. Gue pengin tahu cewek yang bisa bikin lo jatuh cinta lagi setelah bertahun-tahun lo sendiri. Pasti dia spesial, pasti dia—”

“Enggak usah sok tahu,” timpal Dhesta akhirnya, merasa resah ketika mendengar ucapan Bayu karena dirinya jadi teringat perempuan itu.

Bayu mulai menyerah, mungkin dia tidak akan pernah didengar. “Gue cuma mau lo seseneng kemarin-kemarin, Bang. Kalau gue jadi lo, enggak peduli harus nurunin harga diri atau apa pun itu, gue enggak akan ngelepasin cewek yang gue sayang.”

Dhesta memandang Bayu tajam, merasa kesal karena dinasihati remaja yang tidak tahu apa-apa tentang kehidupan orang dewasa. Sebelum mendengar ucapan pedas kakaknya, Bayu meninggalkan Dhesta. Sendirian.

***

         Satu tahun telah berlalu, tetapi semuanya tidak berubah secepat itu. Hari bergerak lambat, membuat ingatan menemukan jalannya untuk kembali menyelimuti perempuan itu dengan hangat. Terkadang dia masih memikirkan panggilan tak terjawab itu.

         Panggilan pertama, 20 detik.

         Panggilan kedua, 21 detik.

         Setelah merapikan tumpukan pakaian yang sudah disetrika, matanya membulat saat melihat tulisan “2 missed calls” di notifikasi ponselnya. Perempuan itu berpikir keras, satu-satunya orang yang kali terakhir dia berikan nomor ponselnya adalah ....

         Ingin berkata tidak mungkin, tetapi yang terpikirkan olehnya kala itu adalah mengirim pesan ke nomor tersebut. Pada hari kerja seperti itu, dia tidak bisa meneleponnya. Dia tahu, dia sudah tahu, dia tidak akan lagi mengulanginya: menghubungi saat jam kerja. Namun, setelah berbulan-bulan menunggu, pesan itu tidak pernah mendapat balasan.

https://www.pixiv.net/en/artworks/72685216

         Perempuan itu tidak pernah berhenti menanti, tetapi hidup terus berjalan dan dia harus pontang-panting menjalani hari. Dia tidak bisa terus menulis cerita yang sudah tamat. Dia tidak bisa meratapi hidup yang pernah mati. Akan tetapi, ada kalanya dia bertanya-tanya dalam hati.

Kalau waktu itu dia ada di tempat yang sama dengan ponselnya ....

Kalau waktu itu dia tidak sedang mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak pernah berakhir ....

Apa yang akan terjadi? Apakah segalanya akan berbeda? Apakah mereka masih bersama?

Mungkin harusnya dia mengatakan sejak awal bahwa bukan dirinya yang rumit, melainkan hidup yang telah membuatnya harus terbirit-birit. Namun, bagaimana menjelaskannya pada seorang asing?

Ketika dihadapkan dengan masalah, manusia cenderung menyalahkan. Perempuan itu jadi mendakwa diri sendiri: itu salahnya. Dia tidak menyalahkan keadaan. Dia tidak menyalahkan siapa pun, kecuali diri sendiri.

Dia sudah membuka diri, menceritakan fakta terpahit dalam hidupnya yang bahkan orang-orang sekitar yang bertemu dengannya pada masa itu tidak pernah tahu sedikit pun. Dia ingin memercayai, maka dia menguliti diri.

Jangankan memiliki energi untuk menceritakan hari-hari terburuknya dan seperti apa perempuan itu melaluinya, memiliki energi untuk hidup pun sudah cukup. Di titik terendahnya kala itu, menceritakan sepotong kisah hidupnya pada orang asing adalah prestasi paling membanggakan yang pernah diraih.

        Tahun berganti, perempuan itu memilih pulih. Kendati demikian, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Nasi sudah menjadi bubur. Perasaannya hanya bisa dikubur.

  

Sunday 10 March 2024

Bagaimana Caranya Mengalihkanmu dari Segenap Pikiranku?

            Aku tidak tahu. Bodohnya. Betapa sial dan menyebalkan. Kalau saja aku memiliki lampu jin Aladdin, tentu aku tidak harus dibuat pusing oleh segala perkara tentangmu ini. Tiga permintaan dan segalanya akan berakhir—bahkan sejak permintaan pertama.

            Kau pernah bertanya, bisakah kau memiliki sebagian saja dari diriku? Oh, betapa kau tidak akan pernah bisa membayangkannya. Kau tidak tahu aku sudah ada di sana, menyaksikanmu, mencermatimu, menyimpanmu di benakku. Kau telah mencuri perhatianku sejak hari pertama.


Thursday 29 February 2024

Seperti Saat Hujan

Seperti saat hujan
aku melupakan payung
yang tertinggal di belakang
pintu kamar sebab terburu-buru

https://www.pixiv.net/en/artworks/108739621

Monday 29 January 2024

Hari Terakhir

            Sudah hari terakhir dan aku masih mencarimu hingga ke detik-detik terakhir. Namun, panggilan itu tak juga kaujawab. Setelah berkejaran dengan waktu, aku kembali menujumu, tetapi tetap saja tidak ada satu huruf pun yang datang menghampiriku. Hampir gila aku menanti jawaban dari dirimu.

Wednesday 10 January 2024

Rasi Itu Orion

Langit luas membentang

hamparkan juta bintang

dan di bawahnya telentang

insan yang pernah hilang.

https://esahubble.org/images/opo0205b/

THEME BY RUMAH ES