Thursday 24 November 2016

Satu Bintang

Aku dulu sempat berlari
Bagimu seperti kecepatan cahaya
Kini aku hanya berjalan
Namun kaukira aku berlari

Kaubilang aku berjalan
Padahal aku telah berhenti
Saat kau sadar aku berhenti
Aku telah berjalan mundur menepi

Aku masih berdiri di sini
Namun kauanggap aku terbang
Saat aku duduk mengamati kenyataan
Bagimu aku tengah tegap berdiri

Entah aku yang terlalu jauh
Atau kau yang tak bisa kusentuh
Dinding di antara kita tak bisa runtuh
Meski kita dibanjiri peluh

Kita berpijak di tanah yang sama
Menghirup udara yang sama
Merasakan angin yang sama
Mendengar hujan yang sama

Di bawah langit berbintang, kita ada
Menatap langit yang sama
Namun bagiku tak ada yang istimewa
Kala kita tak menatap satu bintang yang sama

Saturday 15 October 2016

Manis yang Mengikat

“Kok, kamu ninggalin, sih?” Valme menepuk pundak Daphne dan langsung duduk di sampingnya. “Mi ayam sama teh manis satu, Bu,” teriaknya pada Bu Anita—penjual bakso dan mi ayam yang terkenal paling enak di kantin sekolah itu.
            “Lama, tahu, nungguin kamu dandan di toilet, keburu lapar, nih.” Daphne menunjuk semangkuk bakso yang ada di hadapannya.
            Valme mengerucutkan bibir. “Sekali-kali kamu juga dandan, dong, jangan polos begini.”
            “Buat apa?” tanya Daphne dengan alisnya yang terangkat.
            “Biar cantik,” jawab Valme singkat.
            Daphne menelan bakso yang telah dikunyahnya lalu menatap Valme dan berkata, “Cantik itu dari hati, bukan dari dandanan.”
            “Cielah, bijak amat. Masalah hati aja baru susah, tuh.” Valme langsung menelan ludah. Ia keceplosan. Tamat sudah riwayatnya jika menyinggung masalah itu lagi di depan Daphne.
           Daphne melirik Valme tajam. Saat Daphne hendak berbicara, Bu Anita datang membawa pesanan Valme. Ia langsung menyantap mi ayam dengan lahap tanpa memedulikan Daphne yang mendengus kesal di sebelahnya.

Tuesday 6 September 2016

Cokelat Panas

Aku masih di sini, duduk sendiri bersama cokelat panas yang belum dicicipi. Katamu, cokelat itu harus diminum ketika panas agar bisa menenangkan dan menghangatkan. Aku tersenyum kecil, menatap udara yang mengepul dari cangkir di depanku. Ah, kubiarkan saja cokelat itu hingga dingin. Mataku menerawang ke kaca besar di samping meja kafe ini. Senyum kembali mengembang ketika kudapati rintik-rintik hujan menyentuh kaca perlahan. Senja yang hujan bersama cokelat panas di hadapan. Bukankah ini sebuah kenyamanan?
            Orang-orang menepi di teras toko-toko yang berjejeran, menunggu reda sang hujan. Apa hanya aku di dunia ini yang akan pulang tanpa menunggu hujan reda? Oh, jangan salah sangka, aku di sini bukan menunggu hujan reda, aku bisa pulang kapan saja semauku entah hujan itu reda atau tidak. Namun, bukan itu inti permasalahannya. Aku sedang menunggu, atau bahkan mungkin mencari kembali. Ke mana aku harus pulang? Untuk apa aku pulang? Apalah arti pulang itu sendiri?

Friday 12 August 2016

Di Antara Bintang

Tidak bergandengan, tapi saling memberikan
Tidak berdampingan, tapi saling terus berjalan
Tidak berdekatan, tapi saling menguatkan
Tidak berbicara, tapi saling mengungkapkan

Seperti itulah kita sekarang, terpisah segala kenang
Saat waktu kencang berlari, tak lagi berdetak pelan
Entah kapan sebuah waktu lahir dan berakhir
Namun saat menemukanmu, aku merasa waktu berhenti

Dalam ceritaku, kaulah sang tokoh utama
Di setiap lembar, kau dapat ditemukan
Kau adalah kata tak berjeda
Membuatku terus menulis hingga lupa

Aku lupa bahwa sebuah cerita harus memiliki akhir
Namun aku tak pernah ingin kisah kita berakhir
Rasanya semua sudah selesai begitu saja
Saat aku telah sampai di pengujung cerita


Cerita kita selesai, namun tidak dengan kenangan ini
Sebuah kisah pasti berakhir, namun kita abadi
Kita masih di sini, saling menatap satu sama lain
Akan terus seperti ini, hingga kata waktu tak lagi berarti

Aku melepaskanmu, membiarkanmu berjalan di kegelapan
Namun kau tak perlu khawatir, aku tak ke mana-mana
Aku telah menjadi sebatang lilin yang kini kaugenggam
Membakar perlahan diriku demi menuntunmu menuju dirinya

Simpan aku di tengah meja makan, di dekat sepasang cincin berkilauan
Biarkan aku melihat senyum manismu dari cahaya kecil yang kupancarkan
Habiskan malammu dengan tawa hingga aku tak bersisa
Saat aku tak lagi ada, pastikan cincin itu telah melingkar di jarinya

Percayalah, kita tak pernah benar-benar selesai
Kaugenggam aku begitu saja di detik terakhir
Cincin itu bukan untuknya, melainkan untukku
Tatapan itu milikku, tak pernah menjadi miliknya

Kau melebur bersamaku, hilang dari panggung dunia
Dalam sekejap kita ada di tengah semesta
Melanjutkan cinta ini hingga kisah kita melegenda
Di antara bintang, kita menetapi semesta

Monday 4 July 2016

Selamat Tinggal, Cinta Sejatiku

Orang-orang pernah bertanya padaku tentang luka.  Aku hanya tersenyum.  Apa yang harus kuceritakan tentang luka? Apakah itu kecewa? Patah hati? Apakah yang mereka harapkan dari jawabanku? Pertanyaan ini mengusik hatiku, mengetuk daun pintu nurani.  Oh, ternyata di sana segala luka memiliki tempatnya sendiri.  Saat kutelusuri, ternyata semua luka telah kualami, kecuali satu.  Ya, bersamamu telah kulalui segala luka.  Kau yang membuatku terluka, pun kau yang mengajarkanku untuk tak pernah bersemayam dalam duka.
            Orang-orang juga pernah bertanya padaku tentang bahagia.  Aku kembali tersenyum.  Apa yang harus kuceritakan tentang bahagia? Apakah itu terharu? Sukacita? Apakah yang mereka harapkan dari jawabanku? Pertanyaan ini kembali membawaku menyusuri setiap inci hati.  Oh, ternyata di sana semua elemen kebahagiaan menempati singgasananya masing-masing.  Aku terus menelusuri ruang hati di mana semua tempat kebahagiaan telah terisi, kecuali satu.  Ya, bersamamu telah kulewati seluruh bahagia.  Kau yang membuatku bahagia, pun kau yang memberi tahu bahwa tak ada bahagia yang sempurna.

Saturday 7 May 2016

Tiada Henti

Kau tak perlu datang dan pergi
Untuk membuatku kembali jatuh cinta
Setiap kali aku menatapmu, jantungku berdering
Melagukan alunan cinta yang kedua, ketiga, pun seterusnya

Kau pun tak perlu mengetuk pintu hati ini
Karena ia akan selalu terbuka tanpa kauminta
Karena ia takkan pernah tertutup meski harus menunggu lama
Karena ia selalu menanti kedatanganmu setiap hari

Tuesday 12 April 2016

Kelabu Itu Dirimu

Aku melangkah perlahan
Menyeret kakiku yang enggan
Begitu pun dengan hatiku yang ingin bertahan
Susah payah otakku memaksa untuk tak mempedulikan

Aku berhasil, berdiri di sini
Menemukan warna lain
Dimana cerahnya menembus otakku
Membuatku ingin memunculkan rasa baru

Semakin aku mencoba, semakin luka itu menganga
Hatiku sesak, ia tak pernah ingin terbuka
Ia mengunci rapat dirinya 
Tak memberi celah walau hanya sesaat

Hatiku menolak, tak pernah menerima
Ia hanya setia pada satu warna
Tak peduli meski warna itu tak begitu jelas
Kelabu, bukan putih atau hitam


Warna-warni yang ada hanya mampu menembus otakku
Sedang kelabu dengan kecepatan cahaya begitu mudah menembus hatiku
Sebelum aku berkedip, warna itu telah mengunci sudut hatiku
Mendiami ruang tersendiri dan tak pernah mau beranjak lagi

Kaulah warna itu, kelabu yang menjadi misteri
Membuatku tak pernah mampu untuk melangkah pergi
Meski kau tak pernah sejelas warna lain yang kutemui
Namun hanya kaulah yang selalu membuatku kembali


Friday 25 March 2016

Kristal Hujan

Hujan turun lagi, bersama rintiknya yang semakin jelas menuruni langit.  Aku masih di sini, mencari jejak-jejak kenangan di antara genangan air hujan.  Aku menyapamu lewat angin agar ia berbelok ke arahmu.  Aku menangkap rintiknya agar dapat selalu kurasa kehadiranmu.  Rintik yang semakin deras semakin menghunjam jantungku, menyelusupkan kenangan-kenangan kita kala itu.

Tuesday 16 February 2016

Ledakan Cinta

Aku hanyalah sosok biasa
Namun bersamamu kurasa segalanya
Kau memberi pelita di tengah kegelapan
Dengan cahaya yang penuh warna


Terkadang kau membuatku terpana
Hanya dengan senyummu yang buat pipi ini merona
Selalu saja kaubuat jantungku bertalu-talu
Hingga terus mengalunkan lagu merdu

Sunday 24 January 2016

Satu Hati

Vanda merapatkan jaketnya ketika keluar dari restoran. Ponselnya berdering, nama kekasihnya muncul di sana. Vanda menyentuh gambar berwarna merah, ia malas mendengar ocehan kekasihnya itu karena tidak ingin diajak makan malam kali ini. Jujur saja, Vanda bosan, kekasihnya begitu posesif.  Vanda belum ingin pulang, ia justru melangkah menuju taman. Ia malas pulang cepat karena bisa saja kekasihnya itu sedang menunggunya di rumah untuk meminta penjelasan.
Mobil itu diparkir di dekat taman setelah digunakan pemiliknya untuk mengantarkan sang putri pulang ke rumahnya. Pemilik mobil itu tidak segera pulang, ia ingin menikmati malam sendirian, setelah menghabiskan waktu bersama kekasihnya seharian. Ia turun dari mobil lalu berjalan di sekitar taman yang ramai.
Dua pasang mata itu bertemu, tepat di bawah purnama yang benderang. Mereka berhenti melangkah, seolah pertemuan itu adalah hal paling aneh yang pernah mereka alami dalam hidup. Dua pasang mata itu masih terus saling menatap meski tak ada kata yang terucap. Bintang-bintang di angkasa menjadi saksi bisu di antara mereka.
THEME BY RUMAH ES