Wednesday 10 January 2024

Rasi Itu Orion

Langit luas membentang

hamparkan juta bintang

dan di bawahnya telentang

insan yang pernah hilang.

https://esahubble.org/images/opo0205b/

“Rasi itu Orion,” ujarku menunjuk

ke tiga bintang biru yang membentuk

angka satu; Alnitak, Alnilam, Mintaka.

Katamu, “Iya, aku tahu. Lalu apa?”


Tentu saja kautahu, kau selalu tahu,

tetapi tetap aku mengucap, “Coba jawab,

satu tambah satu sama dengan?” Tanpa ragu

kau menyahut, “Jendela.” Aku kontan tertawa.


Kau pintar dan aku harus sabar. Kubilang, “Dengar.

Rasi itu Orion. Di sana.” Jariku mengarah ke cakrawala, menggambar.

Matamu tak lepas dan kau berpikir keras. “Iya, bukankah jawabanku benar?”

Bukan itu sebenarnya maksudku karena perihal rasa, tidak ada salah atau benar.


“Sekali lagi, ya,” ulangku takingin kehilangan

detik-detik yang terasa selamanya ketika bersamamu,

“satu tambah satu?” Bibirmu hampir memberikan jawaban yang kuartikan

sebagai “dua”, hingga aku melengkapi, “Tambah empat tambah sepuluh.”


Tahukah kau bahwa tatkala sedang mempertimbangkan

sesuatu, wajah yang kentara serius itu kerap kali menarik perhatianku? Bukankah

angin saja setuju dan berlomba mengamini segala angan dan segenap inginku? Kau akhirnya

menatapku dan aku mengalihkan pandang pada bintang-bintang sebab jawabanmu benar, “Tiga.”


Astaga. Kepada Orion penjaga surga, tolong jaga dia kapan dan di mana pun dirinya berada, batinku.

“Sekarang giliranku,” balasnya setelah berdeham di tengah hening malam, “lihat ke sana, arah Utara.”

Netra ini menatap tangannya dan aku mengutarakan, “Kasiopeia, bukan?” Ekspresi nanar

tak bisa kausembunyikan, tetapi toh, kau lebih pintar, pikirku.


“Benar juga, kau yang cemerlang pasti tahu itu Kasiopeia, tetapi dari rasi bintang

yang tak terbilang, tahu tidak kenapa aku mau kau melihat konstelasi berbentuk huruf W itu?”

Aku mencermati letaknya dan menerka-nerka, “Karena posisinya yang mengarah ke bawah?”

Sumpah, otakku payah jikalau berurusan dengan teka-teki yang bukan angka; rasanya seperti kena kutuk.


Kau menghela napas, menegaskan, “Seperti kau. Kasiopeia itu seperti kau. Asal kautahu saja.”

Memangnya dari mana aku bisa tahu? Lagi pula, apakah itu yang kudapati dari kerut di sudut

mulut dan matamu; kau menahan tawa? Aku memberengut sembari bertanya, “Kenapa memangnya?”

Tawamu lepas sampai kemudian bergegas menjelaskan, “Ratu Angkuh, nama Kasiopeia, tetapi kau–”


“Apa?” selaku beringas. Mungkin kaulupa kalau seorang raja seperti kau juga sombong,

tetapi waktu kaubilang, “Angkuh pada siapa pun, kecuali aku. Tak terjangkau siapa pun namun

bagiku kau mudah dikenali”, aku seperti tong kosong yang hanya bisa terbengong-bengong.

Kau menikmati permainan, melanjutkan, “Kalau tiba-tiba ada bintang jatuh, apa permintaanmu?”


“Pertama, bintang tidak jatuh; itu meteorit,” bantahku lantang.

Kau tersenyum menanggapi, merasa tertantang. “Kedua,” sambungku,

“aku tidak akan meminta apa-apa.” Bukan kau namanya bilamana tidak bertanya, “Kenapa?”

Bagaimana caranya memberitahumu bahwa kaulah sebuah permintaan yang kini kumiliki itu?

No comments:

Post a Comment

THEME BY RUMAH ES