Tidak dijawab.
Lagi.
Ini sudah
panggilan kedua. Berselang sepuluh menit dari panggilan pertama, yang juga
tidak dijawab.
Kesabaran Dhesta yang
setipis tisu dibelah tiga itu kini sudah habis.
Apa susahnya
mengangkat telepon?
Cukup dua kali,
tidak akan dia menelepon lagi.
Untuk apa kalau tidak pernah diangkat? Buang-buang waktu saja.
Jika bukan karena kehadiran bingkisan lebaran, dia tidak mau repot-repot menghubungi nomor ponsel yang tidak pernah ada dalam daftar kontaknya itu. Dhesta menghela napas, memejamkan mata. Perempuan itu benar-benar merepotkan.
Dasar batu.
Dalam hati, Dhesta menggerutu. Selama perjalanan kisah kasihnya, demi apa pun,
perempuan terbaru ini menguji kesabarannya. Sebenarnya, dia bisa pergi saat itu
juga, tetapi kepalang sial karena tertarik sejak awal. Seolah-olah sudah lama,
padahal belum seumur jagung mereka saling kenal.
Mungkin memang seharusnya dia pergi. Dhesta tidak akan menengok ke belakang lagi, tidak mau perasaannya makin dalam. Setelah ini, dia akan menghapus perempuan itu dari hidupnya. Tidak perlu menjelaskan apa pun, dia sudah bisa menyimpulkan: lebih baik menjauh daripada berjuang untuk kesia-siaan. Dia hanya akan fokus dengan masa depan.

No comments:
Post a Comment