Semua yang setelahmu hanyalah
kemungkinan—tidak pernah mencapai kepastian. Sekeras apa pun aku berusaha, ternyata
hati ini tidak bisa lagi memberi rasa. Walaupun jauh di relungnya kutahu kita
tak mungkin bisa bersama, setitik asa itu akan selalu ada. Bukankah memang
seperti itu cinta? Kautahu kau takkan berakhir dengannya, tetapi memilih tetap mendekap
rasa itu di balik dada.
Semua yang setelahmu tidak mampu
menyingkirkanmu—apalagi menggantikanmu. Satu sentimeter saja jiwa ini tidak
pernah mampu menjauh dari seutuhnya jiwamu. Konon, ada teori benang merah, ada
pula teori rumah. Apa pun itu, niscaya kepadamulah aku selalu kembali setelah melanglang
buana tanpa arah.
Semua yang setelahmu tidak ada yang bertahan—pergi senantiasa menjadi pilihan. Ketika keadaan menjadi rumit, lebih baik pergi daripada berjuang melawan keruwetan. Kalau ada yang mudah, untuk apa memperjuangkan yang sulit? Ya, biar saja. Tanganku dengan senang hati menunjukkan pintu, jalan keluar yang tidak akan pernah dibuka lagi setipis celah pun.
Semua yang setelahmu berakhir
dengan semoga—semoga tidak bertemu lagi. Sejak awal, seharusnya tidak kuberi
waktu. Ini semua bukan perkara suka ataupun duka, melainkan ke dunia mana diri
akan dilemparkan. Sementangpun mungkin sementara, tidak ada yang bisa menjamin
keadaan akan kembali layaknya sediakala.
Semua yang setelahmu tidak berarti
apa-apa—seketika sirna. Detik ketika ingatan tentangmu memelesat, otakku
meniadakan segala yang bukan tentangmu. Tanpa bekas, seluruhnya meluruh setarikan
napas. Kita tidak pernah punya apa-apa, tetapi semesta tahu kita pernah ada biarpun
sebatas sekilas.
Semua yang setelahmu tidak akan pernah menang—satu kali pun. Kau, satu yang telah memenangkan ragam pertarungan. Kau, satu yang tidak pernah menyerah dari rupa amarah. Kau, satu yang tidak pernah membelah dua. Kau, satu yang cukup, lebih dari apa pun. Kau, satu yang selamanya menjadi satu-satunya.

No comments:
Post a Comment