Sunday 22 October 2023

Dua Cangkir Kopi

Bayu langsung tancap gas setelah melihat foto yang diunggah Hana. Sahabatnya itu pasti tidak baik-baik saja. Si perempuan keras kepala itu dijamin sedang sendirian sekarang dan dalam beberapa waktu ke depan akan menghilang dari peradaban. Sungguh merepotkan.

Setelah beberapa menit mengarungi macetnya jalanan, Bayu sampai di tempat tujuan. Ketika memarkirkan motor, dia teringat bagaimana cara Hana mengajaknya bertemu di tempat itu, selalu dengan: “jam dan tempat biasa”. Saking teraturnya hidup sahabatnya itu, tempat mereka bertemu tidak pernah berubah.

Memasuki kafe favorit Hana, Bayu berjalan ke meja yang sudah dihafalnya sejak lama. Lihat, kan? Dia pasti duduk di meja sudut itu, menghadap jendela. Hana pernah bilang, “Orang besar itu harus memiliki sesuatu yang unik, menjadikannya ciri khas.” Bayu tersenyum mengingatnya, Hana yang kecil itu memang “orang besar”. Derap langkah Bayu menuntunnya mendekati meja.

“Yang bener aja, lo mau enggak tidur seharian?” protes Bayu saat melihat dua cangkir di meja Hana, keduanya hanya menyisakan sedikit. Itu yang luput dari fokus Hana. Biasanya dia paling teliti terhadap apa pun, tetapi hari ini dia lalai karena tanpa sadar dua cangkir itu tertangkap layar ponselnya dan dia mengunggah foto itu.

taken by KoniginDerRosen

Bayu mengangkat cangkir yang berisi cairan hitam dan memelototi Hana yang tertunduk diam. “Dua cangkir kopi, lo kenapa, Hana Edelia?”

“Duduk dulu bisa?” Seperti biasa, Hana menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.

Setelah meletakkan kembali cangkir dan menghela napas, Bayu akhirnya duduk di depan Hana, memandangi perempuan itu dengan perasaan sedikit khawatir. Sedikit saja karena rupanya Hana masih bisa merespons dengan cara menyebalkannya itu. Dasar manusia rumit bin sulit.

“Gue pesenin lo minuman dulu, ya,” ucap Hana beranjak.

Bayu hanya mengangguk sembari memperhatikan Hana berjalan menuju tempat pemesanan. Dari caranya melangkah, Bayu mendeteksi ada yang tidak biasa. Ke mana Hana yang biasanya berjalan cepat dan riang? Apa-apaan langkah gontai dan pelan itu?

Selang beberapa menit, Hana kembali dengan minuman di tangan. Dia meletakkan segelas es mokacino di depan Bayu kemudian duduk dengan lunglai.

Dahi Bayu mengernyit heran. Apa pula ini? Sebelas tahun bersahabat dengan Hana, tidak pernah sekali pun perempuan itu salah memesan minuman untuknya. Mungkin ada yang salah dengan otak sahabatnya itu.

“Kapucinonya habis?” Bayu mencoba bertanya, mengetes memori di otak Hana.

Hana meliriknya bingung. “Kapucino? Gue pesennya, kan, mokacino.”

Benar-benar di luar nalar. Setelah tidak bertemu setengah tahun, Bayu berpikir jangan-jangan Hana kena amnesia. Kalau barisan nama mantan pacar Bayu yang jumlahnya belasan dan sudah lapuk dimakan waktu saja Hana selalu hafal, bisa-bisanya Hana lupa minuman favoritnya.

“Kenapa lo enggak bilang kalau hari ini pulang?” tanya Bayu mengalihkan pikirannya.

“Bilang juga enggak ngaruh apa-apa,” balas Hana pelan.

Tunggu, tunggu. Bukan itu harusnya jawaban yang keluar dari mulut Hana. Bayu makin bingung. Tanggapan sejenis “Kalau gue bilang, nanti lo datang, males, ah”,  “Sori, lo enggak diajak”, dan “Harus banget bilang sama lo?” yang Bayu harapkan.

“Enggak mau disamperin sama gue gitu maksudnya?” Bayu kembali mengetes. Harusnya cara itu manjur.

Hana menyesap kopi hitamnya yang sudah dingin, menelannya pelan, kemudian menjawab, “Dasar aneh. Si paling sibuk.”

Nah, kan! Bayu rasanya ingin meninju langit. Ini baru Hana-nya. “Iya, gue belum lupa sama lo, masih sayang sama lo, kangen juga sama lo.”

“Berengsek.” Singkat, padat, dan jelas.

Jelas sekarang Bayu terpingkal-pingkal. Siapa pun yang belum mengenal Hana pasti dibuat pening dengan ucapan dan tingkah lakunya. Untung dia sudah bersahabat dengan Hana sejak perempuan itu masih remaja ketus pelit berkata-kata. Untung dia sudah menghabiskan waktu dengan makhluk yang sulit menyampaikan perasaannya itu. Untung dia selalu tahu apa maksud di balik kata-kata Hana.

Merasa kesal karena Bayu begitu puas tertawa, Hana mendesis, “Pulang sana, lo malu-maluin, berisik.”

Bayu seketika berhenti, mengatur napasnya. Melihat hanya ada dua cangkir kopi di meja tanpa sepiring pun makanan, Bayu bertanya, “Lo udah makan belum?”

“Demi motor berisik lo yang meresahkan itu, enggak ada perta—”

“Oke, oke, gue tahu itu pertanyaan enggak penting menurut lo, tapi please, jawab gue kali ini aja.” Bayu sontak memotong sebelum Hana mengomelinya.

“Ya masa gue belum makan, sih?” timpal Hana.

Itu Hana. Ya ... itu Hana, tetapi tidak seratus persen Hana. Sejak kapan perempuan itu dengan mudahnya menuruti permintaannya? Pasti ada salah satu saraf di otak perempuan itu yang terputus. Bayu harus mencari cara agar Hana mau menceritakan apa yang sedang terjadi.

“Lo lagi kenapa, sih, Na?” tanya Bayu tanpa tedeng aling-aling.

Bukannya menjawab, Hana malah menunduk lesu di atas meja, membenamkan kepala di kedua lengannya yang terlipat. Hening beberapa detik hingga akhirnya Hana lirih bersuara, “Bayu ....”

Bulu kuduk Bayu kontan berdiri. Kalau Hana sudah memanggil namanya dengan nada seperti itu .... Bayu segera berdiri dan kini duduk di samping Hana. Dia mengatakan dengan lembut, “Nih, gue pinjemin bahu gue buat lo nangis.”

Biasanya, biasanya, Hana akan dengan cepat mendorong Bayu menjauh dan memberinya tatapan membunuh. Namun, kali ini, perempuan itu malah mengangkat kepalanya dan memandangi Bayu tanpa suara. Dia bahkan tidak mendorong Bayu atau menyuruhnya menjauh.

Thanks, ya,” ungkap Hana dengan mata yang mengandung berbagai makna.

Bayu membelalak ketika merasakan kepala Hana yang kecil itu di bahunya. Kalau besok adalah Jumat, dapat dipastikan esoklah akhir kehidupan alias kiamat. Untungnya hari itu adalah Sabtu, masih ada beberapa hari lagi untuk menjemput kematian.

Tidak ada yang berbicara di antara keduanya selama beberapa menit. Bayu seketika menjadi batu ketika Hana yang batu itu tidak lagi sekeras batu. Sebenarnya dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ingin mengganggu diamnya sahabat yang sedang dilanda bencana itu.

“Jangan bilang-bilang,” bisik Hana memecah keheningan.

Angin bertiup, pelan, seiring dengan apa yang Hana ucapkan. Bayu melirik perempuan itu sekilas, lalu dia mengangguk. Tidak, dia tidak akan mengatakannya pada sahabat-sahabatnya yang lain. Dia tidak akan membiarkan bahkan satu saja manusia di muka bumi ini mengetahui apa yang terjadi.

“Cerita aja, lo selalu punya gue, enggak akan ember, dijamin,” timpal Bayu.

Hana kembali menegakkan kepala, kali ini menoleh pada Bayu yang memandanginya dengan serius. “Lo kenapa balik lagi setelah jadi bajingan selama tiga tahun?”

“Ha?” Tidak bisa disembunyikan lagi oleh Bayu, respons spontan dan mulutnya yang menganga.

Hana memutar mata dengan malas. “Ternyata pas gue lagi bodoh begini, lo tetep masih lebih bodoh, ya. Heran.”

“Ma-maksud gue ...,” sahut Bayu gelagapan, “pertanyaan lo cukup ... apa, ya? Mengherankanlah, ya, biar sama kayak lo yang heran sama gue.”

Perempuan di depan Bayu itu menaikkan alis, menanti jawaban. “Jadi?"

Cukup panjang Bayu menarik napas sebelum menceritakan, “Oke. Pertama-tama, gue minta maaf karena pergi gitu aja tanpa pemberitahuan, tanpa jelasin apa pun, tanpa ngasih kesempatan buat lo untuk sekadar bertanya ‘kenapa?’. Jelas, gue bangsat, bajingan, you name it.”

Bayu berhenti sejenak, menantikan apakah dia akan dimaki-maki oleh Hana. Ternyata, Hana mendengarkan. Aneh juga rasanya setelah hidup dua puluhan tahun, Hana tetap menjadi seseorang yang memiliki kemampuan untuk mendengarkannya, benar-benar mendengarkan. Dunia ini butuh lebih banyak orang seperti Hana.

“Waktu itu emang gue ngejauhin lo, ngejauhin kalian, sengaja. Gue enggak tahu harus jelasinnya gimana, tapi yah, pada satu titik, gue akhirnya sadar kalau lo enggak salah, kalau persahabatan kita yang udah di ujung tanduk itu masih bisa diselamatkan karena anak-anak bilang lo enggak nyerah walaupun mereka udah muak sama gue.”

Teringat lagi masa itu, sebenarnya ada satu alasan kuat mengapa Bayu akhirnya kembali. Dia ingin mengatakannya, tetapi ekspresi Hana berubah setelah perempuan itu mendengar apa yang baru saja diutarakan Bayu.

“Ya gimana enggak muak kalau lo bertingkah kayak makhluk laknat?” Memang Hana memiliki kemampuan berkata-kata di atas rata-rata. “Hm, tapi maksud gue, lo bisa aja enggak pernah balik lagi, lo bisa aja ngelupain kami, apalagi gue. Since I’m the only girl in this crocodile circle, sebenernya yang perlu lo jauhin, kan, cuma gue, enggak semua anak-anak juga, tapi mereka jadi kena imbasnya, tapi udahlah, bukan itu intinya. Poinnya adalah kenapa lo balik lagi, padahal lo tahu gue ngeselin, ribet, batu, re—”

“Baik.”

“—bel. Ha?” Giliran Hana yang melongo gara-gara omongannya dipotong.

Bayu tersenyum sembari melanjutkan, “Lo baik, Hana. Emang, sih, seringnya ngeselin, tapi siapa lagi yang bisa tahan sama kelakuan gue kalau bukan lo? Siapa lagi yang masih mau memperjuangkan seorang bajingan atas nama persahabatan?”

Sumpah, wajah Hana sebegitu seriusnya saat Bayu berkata demikian. Dia pun menyambungnya, “So, thanks for always fighting, Na. Should I say I love you?”

“Tahi kucing.”

Tawa Bayu sontak membahana, membuat belasan pasang mata menatap ke arah mereka. Hana yang sedang tenggelam dalam gelapnya lautan kehidupan, lebih ingin lagi menenggelamkan diri ke inti bumi. Segurat senyum terlukis di wajahnya, sebuah senyuman yang akhir-akhir ini tidak pernah terlihat, setitik bahagia yang kembali dirasakannya setelah berjuang mati-matian demi melawan keinginan untuk mati.

Bayu tersentuh melihat senyum itu. Astaga, rupanya dia benar-benar merindukan Hana yang berapi-api dan bersinar seperti mentari. “Enggak adil kalau lo menderita sendiri. Sekali aja dalam hidup, lo harus egois.”

“Maksudnya?” Kerutan di kening Hana begitu kentara.

“Hadeh.” Bayu membuang napas dengan ekspresi seperti ingin membuang perempuan di hadapannya. “Gue males ngobrol sama orang bodoh.”

Hana memandang Bayu dengan sengit, kemudian menenggak sekaligus cairan hitam yang tersisa di cangkir. Dia berkata tegas, “Bayu Mueza, gue pernah kehilangan lo, gue pernah ... ah, lo tahulah. Gue udah kehilangan segalanya. Tahun depan, kita ketemu lagi. Ini bukan maksudnya gue mau jauhin atau ninggalin lo, ya, enggak pernah terpikir sedetik pun dalam hidup gue untuk melakukan itu. Gue janji—”

“Lo emang kemasukan setan,” sela Bayu. “Lo enggak pernah sekali pun mengucap kata ‘janji’ sepanjang kita kenal, selama kita—”

“Ya. Gue enggak pernah berjanji sama siapa pun, kecuali sama diri sendiri,” potong Hana. Dia kini mengambil cangkir yang lain, menelan sisanya sampai habis.

“Oh, oke, lanjut,” sahut Bayu merasa sedikit kikuk.

“Gue janji tahun depan saat kita ketemu lagi, gue enggak kayak gini lagi.” Hana mengatakannya dengan nada yang tidak dapat dibantah.

Meskipun demikian, bukan Bayu namanya jika dia bisa begitu saja dibungkam. “Kayak gini gimana maksudnya?”

Hana, tentu saja, sudah tidak punya tenaga untuk menjawab Bayu yang mengujinya. Dia berdiri dan melangkahkan kaki tanpa melirik Bayu yang setengah berteriak, “See you next year, Hana. I miss seeing you be you.

Sepeninggal sahabatnya itu, Bayu memandangi dua cangkir kopi yang sudah kosong. Saat pandangannya beralih ke segelas es mokacino, senyumnya mengembang bebas. Dia yakin, nanti, setahun lagi, Hana akan kembali ingat untuk memesankannya es kapucino. Hana akan diserbu rasa heran karena bisa-bisanya sampai lupa bahwa dia tidak suka cokelat, dalam bentuk apa pun itu.

Hana Edelia, perempuan yang entah karena kecelakaan macam apa hingga bisa bertemu dengan Bayu, akan kembali padanya, pada semuanya, pada dunia yang sudah menjatuhkan Hana hingga perempuan itu tidak akan pernah bisa lagi dijatuhkan oleh siapa pun. Hana tidak akan menyalahi namanya, tidak akan mengingkari, apalagi mengkhianati diri sendiri. Bayu memercayainya sepenuh hati sebab di lahan yang tanduslah Hana selama ini bertumbuh.

No comments:

Post a Comment

THEME BY RUMAH ES